KIMIA MEDISINAL (ANTIKONVULSAN)
ANTIKONVULASI
DEFINISI
Epilepsi
(Yun = serangan) atau sawan/penyakit ayan adalah suatu gangguan saraf yang
timbul secara tiba – tiba dan berkala, biasanya dengan perubahan kesadaran.
Penyebabnya adalah aksi serentak dan mendadak dari sekelompok besar sel – sel
saraf di otak. Aksi ini disertai dengan pelepasan muatan listrik yang
berlebihan dari neuron – neuron tersebut (Tjay dan Rahardja, 2013).
Kejang
merupakan respon terhadap muatan listrik abnormal di dalam otak. Secara pasti,
apa yang terjadi selama kejang tergantung kepada bagian otak yang memiliki
muatan listrik abnormal. Jika hanya melibatkan daerah yang sempit, maka
penderita hanya merasakan bau atau rasa
yang aneh. Jika melibatkan daerah yang luas, maka akan terjadi sentakan dan
kejang otot diseluuh tubuh. Penderita juga bisa merasakan perubahan kesadaran,
kehilangan pengendalian otot, atau kandung kemih dan menjadi linglung.
(Medicastore, 2008).
Kejang
yang timbul sekali, belum boleh dianggap sebagai epilepsi. Timbulnya
paresthesia yang mendadak, belum boleh dianggap sebagai manifetasi epileptic.
Tetapi suatu manifestasi motoric dan sensorik ataupun sensomotorik ataupun yang
timbulnya secara tiba-tiba dan berkala adalah epilepsi. (Mardjono, 1988).
Antikonvulsi
(antikejang) digunakan untuk mencegah dan mengobati bangkitan epilepsi (epileptic seizure) dan bangkitan
non-epilepsi. Antikonvulsi juga digunakan mengatasi kejang bukan epilepsi.
Fenobarbital diketahui memiliki efek konvulsi spesifik, yang berarti efek
antikonvulsinya tidak berkaitan langsung dengan efek sedatifnya. Di Indonesia
fenobarbital ternyata masih digunakan, walaupun diluar negeri obat ini mulai
banyak ditinggalkan. Fenition (difenilhidantoin), sampai saat ini masih tetap
merupakan obat utama antiepilepsi, khususnya untuk bangkitan parsial dan
bangkitan umum tonik-klonik. Disamping itu karba-mazepin semakin banyak
digunakan, karena dibandingkan dengan fenitoin efek sampingnya lebih sedikit
dan lebih banyak digunakan untuk anak-anak karena tidak menyebabkan wajah kasar
dan hipertrofi gusi. Pengaruhnya terhadap perubahan tingkah laku maupun
kemampuan kognitif lebih kecil. Asam valproat seringkali digunakan karena
spectrum antiepilepsi yang lebih lebar. Obat yang relative baru umumnya efektif
dan lebih sedikit efek sampingnya (Departemen Farmakologi dan Terapi, 2016).
KLASIFIKASI
DAN PENYEBAB
Menurut Ginsberg (2008), kejang epileptik secara umum
diklasifikasikan berdasaran onsetnya yaitu fokal (parsial) atau menyeluruh
(generalisata). Kejang parsial disubklasifikasikan lagi menjadi:
- Kejang
parsial sederhana, kesadaran masih ada selama serangan
- Kejang
parsial kompleks, kesadaran terganggu pada tiap tahap
Kejang
parsial dapat berkembang menjadi generalisata (kejang generalisata sekunder),
terjadi penurunan kesaran dengan bukti klinis penyebaran melalui korteks
serebri, misalnya gerakan konvulsif bilateral.
MEKANISME
KERJA ANTIKONVULSAN
Menurut Tjay dan
Rahardja (2013), mekanisme kerja obat antikonvulsan, sebagai berikut:
- Memperkuat
efek GABA, valproate dan vigabatrin bersifat menghambat perombakan GABA oleh transaminase
sehingga kadarnya disinaps meningkat
- Memblokir
saluran – saluran (channels) Na, K dan Ca yang berperan penting dalam timbul
dan perbanyakan muatan listrik
- Mencegah
pelepasan muatan listrik abnormal di pangkalnya (focus) dalam SSP
- Menghindari
menjalarnya muatan listrik tersebut pada neuron otak lain.
Obat yang paling banyak diteliti adalah fenitoin, yang
pada konsentrasi terapeutik tidak mempunyai pengaruh pada pelepasan transmitor
pada respons neuron terhadap glutamate atau GABA. Kerja antikonvulsannya
kemungkinan diakibatkan oleh kemampuannya untuk mencegah aktivitas repetitive
frekunesi tinggi, namun bagaimana fenitoin melakukan kerja ini tidak jelas.
Percobaan klem tegangan menunjukkan bahwa fenitoin meningkatkan proporsi kanal
Na+ inaktif untuk semua potensial membrane yang diberikan. Fenitoin
cenderung terikat pada kanal Na+yang inaktif (tertutup),
menstabilkan kanal dalam keadaan inaktif, dan mencegahnya kembali ke ekadaan
istirahat (tertutup) yang harus dilalui sebelum kanal dapat membuka kembali.
Depolarisasi repetitive berfrekuensi tinggi meningkatkan proporsi kanal Na+
inaktif dank arena kanal Na+ rentan
terhadap blockade oleh fenitoin, aliran Na+ berkurang secara
progresif sampai akhirnya tidak cukup ntuk membangkitkan potensial aksi.
Transmisi neuronal pada frekuensi normal relative tidak dipengaruhi oleh
fenitoin karena proporsi Na+ yang jauh lebih kecil berada dalam
keadaan inaktif. Karbamazepin, lamotrigin, valproate dan kemungkinan topiramat
mempunyai aksi yang serupa pada kanal Na+ neuron. Valproate
tampaknya juga menigkatkan inhibisi sentral GABAergik melalui mekanisme yang
bisa melibatkan stimulasi aktivitas dekarboksilase asam glutamate dan/atau
inhibisi aktivitas GABA-T. Vigabatrin merupakan inhibitor ireversibel GABA-T
sentral. Benzodiazepine (misalnya klonazepam) dan fenobarbital juga
meningkatkan inhibisi sentral, tetapi dengan cara memperkuat kerja dari GABA
yang dilepaskan pada sinaps, di kompleks reseptor GABAA-kanal Cl-.
Fenobarbital juga bisa mengurangi efek glutamate pada sinaps eksitasi (Neal,
2006).
Antikonvulsan dapat meredakan nyeri neuropatik dengan
menstabilkan aktivitas ektopik dari neuron yang cedera atau disfungsi.
Antikonvulsan dapat mempengaruhi sensitasasi perifer, sensitisasi sentral, atau
keduanya, tergantung pada obat spesifik mana yang dipilih. Karena obat-obatan
ini tidak spesifik, efek samping termasuk sedasi, pusing, pemikiran kabur, dan
retensi air sering terjadi dan sering membatasi manfaat terapinya.
Karbamazepin, okskarbazepin, fenitoin, topiramat, dan lamotrigin semuanya
bekerja dengan cara menghambat kanal natrium. Ketika terjadi cedera saraf tepi,
kerapatan saluran natrium meningkat dan diyakini memfasilitasi perkembangan
ektopi yang menyebabkan nyeri neuropatik. Antikonvulsan efektif sebagai terapi
nyeri neuropatik karena mampu mencegah aktivitas ektopik saraf berlebihan pada
saraf yang cedera pada konsentrasi yang lebih rendah dari yang diperlukan untuk
memblokir pembentukan dan konduksi impuls normal. Antikonvulsan dapat
menyebabkan terjadinya ruam. Ruam parah pernah dilaporkan pada penggunaan
karbamazepin, fenitoin dan lamotrigin (Rehatta et al., 2019).
TATA
LAKSANA
Terapi Medikamentosa
Menurut Ginsberg (2008), secara umum diperlukan control
teratur untuk menetapkan dosis minimum efektif dan memantau efek samping obat.
Pengukuran kadar antikonvulsan dalam darah dapat membantu pemantauan. Mayoritas
pasien epilepsy (70%) akan terkontrol dengan baik dengan satu obat (monoterapi).
Akan tetapi, ada beberapa pasien yang membutuhkan tambahan obat. Pada pasien
yang membutuhkan tiga obat atau lebih, angka keberhasilan terapinya rendah.
penyebab epilepsi refrakter adalah:
- Ketidakmampuan minum obat
- Pseudoseizure atau serangan non-epilepsi (baik terpisah atau terjadi bersamaan dengan kejang murni)
- Adanya gangguan otak structural, misalnya anomaly perkembangan otak, yang dapat atau tidak dapat dikoreksi dengan pembedahan
- Alcohol dan gaya hidup
Obat
Antikonvulsan Dan Sindrom Epilepsi, sebagai berikut:
Menurut Ginsberg
(2008), Obat Antikonvulsan Dan Sindrom Epilepsi, sebagai berikut:
Tipe Kejang
|
Obat Pilihan
|
Parsial
|
Karbamazepin
Natrium
valproate
Fenitoin
lamotrigin
|
Absans
|
Etoksuksimid
Natrium
valproate
Lamotrigin
|
Mioklonik
|
Natrium
valproate
Klonazepam
Lamotrigin
|
Tonik-klonik
generalisata
|
Natrium
valproate
Fenitoin
Karbamazepin
Lamotrigin
|
Antikonvulsan
baru, selain lamotrigin, tidak diizinkan untuk monoterapi, tetapi berpean
penting sebagai terapi tambahan, terutama untuk kejang parsial yang resisten
terhadap terapi tunggal obat ini pertama.
|
Obat
– Obat Antikonvulsan Utama (Ginsberg, 2008),
Obat
|
Cara
kerja
|
Farmakokinetik
|
Efek Samping
|
|
Tergantung
dosis
|
Alergi
|
|||
Karbamazepin
|
Penstabil
membrane
Membatasi
cetusan berulang potensial aksi
|
Dosisawal
rendah preparat lepas lambat memungkinkan dosis dua kali sehari
Kadar
obat dalam darah harus dipantau
|
-
Rasa senang
-
Mual
-
Mengantuk
|
-
Erupsi
-
Kulit kemrahan
-
Leukopenia
|
Natrium
valproate
|
Belum
jelas
|
Preparat
lepas lambat memungkinkan dosis dua atau sekali sehari
Tidak
perlu memantau kadar obat dalam darah
|
-Tremor
-Kebingungan
-Toksisitas
kronik: alopesia, peningkatan berat badan
|
Hepatitis
|
Fenitoin
|
Penstabil
membran
|
Regimen
sekali sehari
Kisaran
terapi sempit
Diperlukan
memantau kadar obat dalam darah
|
-Mengantuk
-Ataksia
-Toksisitas
kronik: hipertropi gusi, jerawat, hirsutisme, wajah menjadi kasar, defisiensi
folat
|
-Erupsi
-Kulit
Kemerahan
-
Limfadenopati
|
Lamotrigin
|
Penstabil
membran
|
Waktu
paruh memnjang akibat interaksi dengan natrium valproate
Sebagai
obat tambahan, dosis tergantung terapi antikonvulsan utama
|
-
Mual
-
Pusing
-
Tremor
-
Nyeri kepala
|
-
Erupsi kulit kemerahan
-
Demam
-
Atralgia
-
Limfadenopati
-
Eusinofilia
-
Sindrom steven Johnson
|
Obat
– Obat Antikonvulsan Lainnya (Ginsberg, 2008),
Antikonvulsan
lama dengan kegunaan spesifik:
Fenobarbiturat
(dan primidon)
Banyak
pasien dnegan epilepsy lama bertahan dengan obat ini
Primidon
dimetabolisme menjadi fenobarbiturat
Dapat
terjadi kejang jika fenobarbiturat dihentikan mendadak
Fenobarbiturat
penting dalam tata laksana status epileptikus
Etosuksimid
Digunakan
pada epilepsy absans masa anak-anak (petit mal)
Dapat
mengeksaserbasi kejang tonik-klonik
Klonazepam
Efektif
pada epilepsy mioklonik dan absans
Dapat
diberikan intravena pada status epileptikus
Klobazam
Terapi
tambahan pada kejang tonik-klonik dan kejang parsial, terutama jika terjadi
perimenstruasi
|
Obat
baru yang digunakan sebagai terapi adjuvant untuk kejang parsial
Vigabatrin
Juga
digunakan pada monoterapi untuk spasme infantile (Sindrom West)
Hindari
pada pasien dengan riwayat psikiatrik
Berhubungan
dengan efek lapang pandang perifer yang ireversibel pada sepertiga kasus
Karena
efek smaping diatas, maka hanya digunakan pada keadaan tertentu selain
sindrom west
Gabapentin
Juga
digunakan untuk terapi nyeri neurogenik
Eliminasi
melalui ginjal, tidak seperti antikonvulsan yang lain yang dieliminasi di
hati
Topiramat
Juga
digunakan sebagai terapi ajuvan untuk kejang tonik-klonik generalisata primer
Hindari
pada pasien dengan riwayat pada batu ginjal
Tiagabin
Okskarbazepin
Indikasi
sama dengan karbamazepin, dengan profil efek samping lebih ringan
Levetirasetam
|
PERMASALAHAN
11. Bagaimana pengaruh dari hubungan struktur dengan aktivitas
obat antikonvulsan jika dimodifikasi dengan penambahan gugus non polar
seperti metil ?
22. Mengapa obat antikonvulsan golongan barbiturat
tidak boleh dihentikan secara mendadak?
33.. Bagaimana pengaruh obat antikonvulsan
terhadap ibu hamil dan menyusui?
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Farmakologi dan Terapeutik. 2016.
Farmakologi dan Terapi, Edisi 6, Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Ginsberg,
L. 2008. Neurologi, Edisi Kedelapan,
Penerbut Erlangga, Jakarta.
Mardjono,
M. 1988. Neurologi Klinis Dasar, Dian
Rakyat, Jakarta.
Neal,
M.K. 2006. At a Glance Farmakologi Medis,
Edisi Kelima, Penerbit Erlangga, Jakarta.
Rehatta,
N.M., E. Hanindito, A.R. Tantri, I.S. Redjeki, R.F. Soenarto, D.Y. Basri,
A.M.T. Musba dan M.I. Lestari. 2019. Anestesiologi
dan Terapi Intensif, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Tjay,
H.T., dan K. Rahardja. 2013. Obat- Obat
Penting Khasiat, Penggunaan dan Efek Sampingnya, Edisi Keenam, PT. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Saya akan mencoba menjawab pertanyaan nomor 1 yaitu jika obat tersebut dimodifikasi dengan penambahan metil maka obat tersebut akan bertambah ke non polarannya. Karena semakin panjang atau semakin banyak gugus metil maka senyawa obat tersebut semakin bersifat lipofil. Jika obat tersebut bersifat lipofil maka obat tersebut akan mudah untuk menembus suatu membran sehingga kemungkinan besar aktivitas obat tersebut semakin meningkat. Trimakasih
ReplyDeleteSaya akan mencoba menjawab pertanyaan nomor 2, dimana penghentian antiepileptik sebaiknya dilakukan dibawah pengawasan dokter spesialis. Penghentian obat secara mendadak, terutama barbiturat sebaiknya dihindari karena dapat memicu kekambuhan serangan yang lebih berat. Penurunan dosis sebaiknya dilakukan bertahap dan untuk penghentian barbiturat diperlukan waktu berbulan bulan. Penggantian obat jg sebaiknya dilakukan dengan hati hati, obat pertama dihentikan hanya bila obat kedua telah benar benar bekerja.
ReplyDeleteKeputusan untuk menghentikan terapi antiepileptik dan waktu penghentian terapi, pada pasien yg telah bebas gejala, kadang sulit dan amat bergantung pada keadaan individual. Bahkan pada pasien yg telah beberapa tahun bebas gejala, tetap ada resiko yang bermakna untuk terjadi serangan kembali jika terapi dihentikan.
Saya akan mencoba menjawab pertanyaan no 3
ReplyDeleteSebaiknya ibu yg sedang hamil dan menyusui jangan dulu mengkonsumsi obat antikonvulsi karena pengaruh dari obat antikonvulsan terhadap ibu hamil dan ibu menyusui yaitu kemingkinan besar akan ada peningkatan teratogenik pada janin atau bayinya yang disebabkan oleh obat antikonvulsi selain itu jg bisa menyebabkan adanya kelainan saluran saraf (neural tube) dan kelainan lainnya yang disebabkan oleh penggunaan obat tersebut terutama pada obat karbamazepin, oksarbazepin, fenitoin dan valproat. Maka wanita yg mengkonsumsi antiepileptik/antikonvulsi dan berencana untuk hamil sebaiknya diinformasikan terlebih dahulu mengenai resiko yg mungkin terjadi.
pertanyaan nomor 1 yaitu jika obat tersebut dimodifikasi dengan penambahan metil maka obat tersebut akan bertambah ke non polarannya. Karena semakin panjang atau semakin banyak gugus metil maka senyawa obat tersebut semakin bersifat lipofil. Jika obat tersebut bersifat lipofil maka obat tersebut akan mudah untuk menembus suatu membran sehingga kemungkinan besar aktivitas obat tersebut semakin meningkat. Trimakasih
ReplyDeleteHay ririn
ReplyDeleteSaya akan mencoba menjawab permasalahan no 2
Menurut saya obat golongan barbiturat tidak dapat dihentikan secara mendadak karena akan menyebabkan kekambuhan penyakit jadi untuk penurunannya harus secara bertahap
Terimakasih