KIMIA MEDISINAL (ANTIHISTAMIN)
ANTIHISTAMIN
Sejarah
Histamin
Histamin dihasilkan oleh bakteri yang mengkontaminasi
ergot. Pada awal abad ke 19, histamine dapat diisolasi dari jaringan hati dan
paru-paru segar. Histamine juga ditemukan pada berbagai jaringan tubuh, oleh
karena itu diberi nama histamine (histos = jaringan).
Hipotesis mengenai peran fisiologis histamine didasarkan
pada adanya persamaan antara efek histamine dan gejala-gejala syok anafilaktik
dan trauma jaringan. Meskipun didapatkan perbedaan diantara spesies, pada
manusia histamine merupakan mediator yang penting pada reaksi alergi tipe
segera (immediate) dan reaksi inflamasi; selain itu histamine memiliki peran
penting dalam sekresi asam lambun; dan berfungsi sebagai suatu neurotransmitter
dan neuromedulator (Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2016).
Definisi
Histamin
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2016), Histamin
merupakan 2-(4-imidazoil) etilamin, didapatkan pada tanaman maupun jaringan
hewans erta merupakan komponen dari beberapa racun dan sekret sengatan
binatang. Histamine dibentuk dari asam amino L-histidin dengan cara
dekarboksilasi oleh enzim histidin dekarboksilase, dan memerlukan piridoksal
fosfat sebagai kofaktor. Struktur nya sebagai berikut:
Mekanisme
Kerja Histamin
Histamin dapat
menimbulkan efek bila berinteraksi dengan reseptor histaminergik, yaitu
reseptor H1, H2 dan H3. Interaksi histamine dengan reseptor H1 menyebabkan
kontraksi otot polos usus dan bronki, meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
meningkatkan sekresi mucus yang dihubungkan dengan peningkatan Cgmp dalam sel
dan peningkatan cAMP. Peningkatan sekresi asam lambung dapat menyebabkan tukak
lambung efek ini diblok oleh antagonis H-2. Reseptor H3 adalah reseptor
histamine yang baru yang ditemukan pada tahun 1987, terletak pada ujung saraf
jaringan otak atau jaringan perifer yang mengontrol sintesis dan pelepasan
histamine, mediator alergi lain dan peradangan. Efek ini diblok oleh antagonis
H-3 ( Siswandono, 2016).
Sejarah
Antihistamin
Sewaktu
diketahui bahwa histamin mempengaruhi banyak proses fisiologik dan patologik,
maka dicarikan obat yang dapat mengantagonis efek histamine. Epnefrin merupakan
antagonis fisiologik pertama yang digunakan. Antara tahun 1937-1972,
berates-ratus antihistamin ditemukan dan sebagian digunakan dalam terapi,
tetapi efeknya tidak banyak berbeda. Antihistamin misalnya antergan,
neoantergan, difenhidramin dan tripelenamin dalam dosis terapi efektif untuk
mengobati edema, eritem dan pruritus tetapi tidak dapat melawan efek hipersekresi
asam lambung akibat histamine. Antihistamin tersebut digolongkan dalam antihistamin penghambar
reseptor H1 (AH1).
Sesudah
tahun 1972, ditemukan kelompok antihistamin baru yaitu burimamid, metiamid dan
simetidin yang dapat menghambat sekresi asam lambung akibat histamine. Kedua
jenis antihistamin ini bekerja secara kompetitif yaitu dengan mengghambat
antihistamin dan reseptor histamine H1 dan histamine H2 (
Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2016).
Defisini
Antihistamin
Antihistamin
(antagonis histamine adalah zat yang dapat mengurangi atau menghalangi efek
histamin terhadap tubuh dengan jalan memblokir reseptor histamine. Histamine
merupakan derivat amin dengan berat molekul rendah yang diproduksi dari L-histidine. Ada empat jenis reseptor
histamin, namun yang dikenal secara luas hanya reseptor histamin H1
dan H2. Reseptor H1 ditemukan pada sel
parietal mukosa lambung, otot polos, epitelium, endothelium, dan jantung.
Sementara reseptor H3 dan H4 ditemukan dalam jumlah yang
terbatas. Reseptor H3 terutama ditemukan pada neuron histaminergik,
dan reseptor H4 ditemukan pada sum-sum tulang dan sel hematopoitik
perifer. Istilah antihistamin pertama kali ditunjukan pada reseptor antagonis H1
dapat dibagi menjadi generasi pertama dan generasi kedua (Sari dan Yenny,
2018).
Antihistamin Terbaru
Antihistamin H1 generasi kedua lebih
direkomendasikan dalam penanganan urtikaria kronis karena lebih aman pada
pemakaian jangka lama. Pada beberapa tahun belakangan dikenal beberapa antihistamin H1 generasi kedua yang baru, yaitu Bilastine dan
Rupatadine. Kedua antihistamin baru ini
memiliki keunggulan masing-masing dibandingkan antihistamin generasi kedua
sebelumnya. Bilastine merupakan antihistamin H1 paling aman terhadap
kardiovaskuler, dan Rupatadine selain
juga aman terhadap kardiovakuler, juga memiliki efek terhadap platelet activating factor (Sari dan Yenny, 2018).
Jenis Antihistamin
Menurut Departemen Farmakologi dan Terapeutik (2016),
atas dasar jenis reseptor histmin, dibedakan dua macam antihistaminika, yaitu:
1.
Antagonis Reseptor H1 (AH1)
Struktur
dasar AH1 adalah sebagai berikut:
Dengan
Ar = aril dan X dapat diganti dengan N, C atau –C-O. Pada struktur AH1 ini
terdapat gugus etilamin yang juga ditemukan pada rumus bangun histamine.
Hubungan
Struktur dan Aktivitas
-
Gugus aril yang bersifat lipofil
kemungkinan membentuk ikatan hidrofob dengan reseptor H1. Monosubstitusi gugus
yang mempunyai efek induktif, seperti Cl atau Br pada posisi Ar akan
meningkatkan aktivitas sedangkan disubstitusi ke para, meta atau orto akan
menurunkan aktivitas
-
Secara umum untuk mencapai aktivitas
optimal atom N pada ujung adalah amin tersier yang papa Ph fisiologi bermuatan
positif sehingga dapat mengikat reseptor H1 melalui ikatan ion. N-dimetil mempunyai
aktivitas yang tinggi dan perpanjangan atom C akan menurunkan aktivitas
-
Rantai alkil antara atom X dan N
mempunyai aktivitas antihistamin optimal bila jumlah atom C=2 dan jarak antara
pusat cincin aromatic dan N alifatik 5-6 derajat, adanya percabangan pada
rantai samping dapat menurunkan aktivitaas
-
Untuk aktivitas antihistamin yang
maksimal kedua cincin aromatic pada struktur difenhidramin tidak terletak pada
bidang yang sama, analog fluoren yang kedua cincinnya koplanar aktivitasnya
seperseratus kali disbanding difenhidramin.
Menurut
Departemen Farmakologi dan Terapeutik (2016)., menurut struktur kimianya AH1
dibagi dalam beberapa kelompok, sebagai berikut:
Golongan dan
Contoh Obat
|
Dosis Dewasa
|
Masa Kerja
|
Aktivitas
Antikolinergik
|
Komentar
|
ANTIHISTAMIN
GENERASI I
|
||||
Etanolamin
-
Karbinoksamin
-
Difendhidramin
-
dimenhidrinat
|
4-8 mg
25-50 mg
50 mg
|
3-4 jam
4-6 jam
4-6 jam
|
+++
+++
+++
|
Sedasi ringan
sampai sedang
Sedasi kuat,
anti-motion sickness
Sedasi kuat,
anti-motion sickness
|
Etilendiamin
-
prilamin
-
tripelenamin
|
25-50 mg
25-50 mg
|
4-6 jam
4-6 jam
|
+
+
|
Sedasi sedang
Sedasi sedang
|
Piperazin
-
hidroksizin
-
siklizin
-
meklizin
|
25-100 mg
25-0 mg
25-50 mg
|
25-100 mg
25-50 mg
25-50 mg
|
-
-
-
|
Sedasi kuat
Sedasi ringan,
anti-otion sickness
Sedasi ringan,
anti-motion sickness
|
Alkilamin
-
klorfeniramin
-
bromfeniramin
|
4-8 mg
4-8 mg
|
4-6 jam
4-6 jam
|
+
+
|
Sedasi ringan,
komponen obat flu
Sedasi ringan
|
Derivate
fenotiazin
-
prometazin
|
10-25 mg
|
4-6 jam
|
+++
|
Sedasi kuat,
antiemetic
|
Lain-lain
-
siproheptadin
-
mebhidrolin napadisilat
|
4 mg
50-100 mg
|
Kurang lebih 6
jam
Kurang lebih 4
jam
|
+
+
|
Sedasi sedang,
antiserotonin
|
ANTIHISTAMIN
GENERASI II
|
||||
Astemizol
feksofenadin
|
10 mg
60 mg
|
<24 jam
12-24 jam
|
-
-
|
Mula kerja
lambat
Risiko aritmia
lebih rendah
|
Lain-lain
-
loratadin
-
-
setrizin
|
10 mg
5-10 mg
|
24 jam
12-24 jam
|
-
|
Masa kerja
lebih lama
|
FARMAKODINAMIK
Antagosnisme terhadap histamine, AH1
menghambat efek histamine pada pembuluh darah bronkus dan bermacam-macam otot
polos, selain itu AH1 bermanfaaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau
keadaan lain yang disertai penglepasan histamine endogen yang berelbihan.
FARMAKOKINETIK
Setelah pemberian oral atau
parenteral, AH1 diabsorbsi secara baik. Efeknya timbul setelah 15-30 menit
setelah pemberial oral dan maksimal setelah 1-2 jam. Lama kerja AH1 generasi I setelah pemberian dosis tunggal
umumnya 4-6 jam, sedangkan beberaa derivate piperizin seperti meklizin dan
hidrosizin memiliki massa kerja yang
lebih panjang, seperti juga umumnya antihistamin generasi II.
INDIKASI
AH1 berguna untuk pengobatan
simtomatik sebagai penyakit alergi dan mencegah atau mengobati mabuk
perjalanan.
Penyakit alergi
AH1 berguna untuk mengobati alergi
tipe eksudatif akut misalnya pada polinosis dan urtikaria. Efeknya bersifat
paliatif , membatasai dan menghambat efek histamine yang dilepaskan sewaktu
reaksi antigen-antibodi terjadi. Epinefrin merupakan obat terpilih untuk untuk
mengatasi krisi alergi karena epinfrin: (1) lebih efektif daripada AH1, (2)
efeknya lebih cepat, (3) merupakan antagonis fisiologik dari histamine dan
autokoid lainnya. Artinya epinefrin mengubah respon vasodilatasi akibat
histamine dan utakoid lain menjadi vasokontriksi. Demikian pula AH1 dapat
melawan efek bronkokonstriksi oleh histamine tetapi tidak bersifat
bronkodilatasi seperti yang diperlihatkan epinefrin.
AH1 dapat menghilangkan bersin,
rinre dan gatal pada mata, hidung dan tenggorokkan pada pasien seasonal hay
fever. AH1 efektif tehadap alergi yang disebabkan oleh debu, tetapi kurang
efektif bila jumlah debu banyaj dan kontaknya lama. Manfaat AH1 untuk mengobati
batuk pada anak dan asma diragukan, karena AH1 mengentalkan sekresi bronkus
sehingga dapat menyulitkan ekspektorasi. AH1 efektif untuk mengatasi urtikaria
akut, sedangkan pada urtikaria kronik hasilnya kurang baik. Kadang-kadang AH1
dapat mengatasi dermatitis atopic, dermatitik kontak, dan gigitan serangga.
Mabuk perjalanan dan keadaan lain
AH1 tertentu misalnya
difenhridramin, dimenhidrinat, derivate piverasin dan prometazin dapat
digunakan untuk dapat menceah dan mengobati mabuk perjlanan udara, laut dan
udara. Dahulu digunakan skopolamin untuk mabuk perjalanan berat dengan jarak
dekat kurang dri 6 jam. Tetapi, sekarang AH1 lebih banyak digunakan kaerna
efektid engan dosis relative kecil. Karena AH1 seperti juga skopolamin memiliki
antilkolinergik kuat. Untuk mencegah mabuk perjalanan AH1 sebaiknya diberikan
setengah jam sebelum berangkat. AH1 terpilih untuk mengobati mabuk perjalanan
ialah prometazin, difenhidramin, siklizin, meklizin. Meklizin cukup diberikan
satu kali sehari.
AH1 efektif untuk dua pertiga kasus vertigo,
mual dan muntah. AH1 efektif sebagai antimuntah pascabedah, mual dan muntah
waktu hamil dan setelah radiasi. AH1 juga dapat digunakan untuk penyakit
Meniere dan gangguan vestibular lain. Penggunaan AH1 ialah untuk mengobati
pasien paralisis agitans (penyakit Parkinson) yaitu menguarangi rigiditas dan
tremor
Sifat anestetik local AH1 digunakan
untuk menghilangkan gatal-gatal. Tetapi harus diingat bahwa pada penggunaan
topical AH1 ini dapat menyebabkan sensitivitas kulit
EFEK SAMPING
Pada
dosis terapi, smeua AH1 menimbulkan efek samping yang bervariasi, efek samping
yang paling sering ialah sedasi. Efek samping yang berhubungan dengan efek sentral
AH1 ialah vertigo, tinnitus, lelah, penat, inkoordnasi, penglihayan kabur,
diplopia, euphoria, geisha, insomnia, dan tremor. Efek samping yang termasuk
juga sering ditemukan ialah nafsu makan berkurag, mual, muntah, keluhan pada
epigastrium , konstipasi atau diare, efek samping ini akan berkurang bila AH1
diberikan sewaktu makan.
Efek
samping lain yang mungkin timbul oleh AH1 ialah mulut kering, dysuria,
palpitasi, hipotensi, sakit kepala, rasa berat dan lemah pada tangan. Innsidens
efek samping karena efek antikolinergik tersebut kurang pada pasien yang
mendapat antihistamin nonsedatif.
AH1
bisa menimbulkan alergi pada pemberian oral, tetapi lebih sering terjadi akibat
penggunaan local berupa dermatitis alergik. Demam dan fotosensitivitas juga
pernah dilaporkan terjadi. AH1 sangat
jarang menimbulkan komplikasi berupa leukopemia dan agranulositosis.
PERHATIAN
Sopir atau pekerja yang memerlukan
kewaspadaan yang menggunakan AH1 harus diperingatkan tentang kemungkinan
terjadinya atau timbulnya kantuk. Juga AH1 sebagai campuran pada resep, harus digunakan
dengan hati-hati karena efek AH1 bersifat aditif dengan alcohol, obat penenang
atau hipnotik sedative.
2. ANTAGONIS RESEPTOR H2 (AH2)
Antagonis
reseptpr H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. Burimamid dan metiamid
merupakan antagonis reseptor h2 yang pertama kali ditemukan, namun karena
TOKSIK tidak digunakan di klinik. Antagonis reseptor h2 yang ada dewasa ini
adalah simetidin, ranitidin, famotidin, dan nizatidin (Departemen Farmakologi
dan Terapeutik, 2016).
SIMETIDIN DAN RANITIDIN
Simetidin
Ranitidin
FARMAKODINAMIK
Simetidin
dan ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible.
Perangsangan reseptor H2 akan merangsang sekresi asam lambung, sehingga pada
pemberian simeridin atau ranitidine sekresi asam lambung dihambat. Pengaruh
fisiologik simetidin dan ranitidine terhadap reseptor H2 lainnya tidak begitu
penting. Walaupun tidak sebaik penekanan sekresi asam lambung pada keadaan
basal, simetidin dan ranitidine dapat menghambat sekresi asam lambung akibat
perangsangan obat muskarinik, stimulasi vagus, atau gastrin. Simetdiin dan
ranitidine juga menganggu volume dan kadar pepsin cairan lambung (Departemen
Farmakologi dan Terapeutik, 2016).
FARMAKOKINETIK
Bioavailibilitas oral simetidin sekitar 70%, sama dengan setelah pemberian IV atau
IM. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi simetidin diperlambat oleh
makanan, sehinga simetidin diberika bersama atau segera setelah makan dengan
maksud untuk memperpanjang efek pada periode pascamakan. Absorpsi simetidin
terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya
dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum . masa paruh eliminasinya sekitar 2
jam.
Bioavailibilitas ranitidine yang
diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati. Masa
paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa dan memanjang pada orang tua dan
pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidine juga
memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak pada plasma
dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidine secara oral dan yang
terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidine mengalam metabolism lintas pertama
di hati dalam jumlah cukup besar setelah pemberian oral. Ranitidine dan
metabolitnya diekskresi teruama melalui ginjal, sisanya melalui tinja
(Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2016).
INDIKASI
Simetidin, ranitidine dan antagonis
reseptor H2 lainnya efektif untuk mengatasi gejala akut tukak duodenum dan
mempercepat penyembuhannya. Dengan dosis lebih kecil umumnya dapat membantu
mencegah kambuhnya tukak duodenum,
Selain untuk tukak duodenum dengan
dosis yang sama, simetidin, ranitidine dan antagonis reseptor H2 lainnya juga
efektif untuk mengatasi gejala da mempercepat penyembuhan tukak lambung.
Antagonis reseptor H2 diindikasikan
untuk gangguan refluks lambung-esofagus (Gastroesophageal Reflux Disorder =
GERD), meskipun lebih sulit diatasi, memerlukan frekuensi pemberian yang lebih
sering dan dosis perhari yang lebih besar.
Pada apsien Zollinger Ellison
syndrome, simetidin, ranitidine dan antagonis reseptor H2 lainnya efektif untuk
mengatasi gejala akibat sekresi asam lambung yang berlebihan tetapi memerlukan
dosis yang jauh lebih besar dan pemeberian yang lebih sring dibandingkan dengan
tukak peptic. Antagonis reseptor H2 juga diindikasikan untuk profilaksis tukak
stress (stress ulcers) (Departemen Farmakologi dan Terapeutik, 2016).
FAMOTIDIN
FARMAKODINAMIK
Seperti
halnya simetidin dan raitidin, famotidine merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam
lambung pada keadaan basal, malam dan akibat distimulasi oleh pentagastrin.
Famotidine 3 kali lebih poten daripada ranitidine dan 20 kali lebih poren dari
simetidin.
FARMAKOKINETIK
Famotidin mencapai kadar puncak di
plasma kira-kira dalam 2 jam setelah penggunaan secara oral, masa paruh
eliminasi 3-8 jam dan
bioavailibilitasnya 40-50%. Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah
dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin.
Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam.
INDIKASI
Efektivitas obat ini untuk tukak
duodenum dan tukak lambung setelah 8 minggu pengobatan sebanding dengan
ranitidine dan simetidin. Famotidine juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum
yangs ecara klinis bermakna.famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya
pada pasien sindrom Zollinger-Ellison, meskipun untuk keadaan ini omeprazol
merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidine untuk profilasis tukak lambung
, refluks esophagitis daan pencegahan tukak stress kurang lebih sama dengan
antagonis reseptor H2 lainnya.
DOSIS ORAL
Pada tukak duodenum atau tukak
lambung aktif 40 mg satu kali pada saat akan tidur. Pada pasien tukak peptic
tanpa komplikasi dan klirens kretinin <10ml/menit, dosis awal 20 mg pada
saat akan tidur. Dosis pemeiharaan untuk pasien tukak duodenum 20 mg. untuk
pasien syndrome Zollinger-Ellison dan
keadaan hipersekresi asam lambung lainnya, dosis harus diindividualisasi. Dosis
awal per oral yang dianjurkan 20 mg tiap jam.
INTRAVENA
Pada pasien hipersekresi asam
lambung tertentu atau pada pasien yang tidak dapat diberikan sediaan oral,
famotidine diberikan IV 20 mg tiap 12 jam. Dosis obat untuk pasien harus
dititrasi berdasarkan jumlah asam lambung yang disekresi.
EFEK SAMPING
Efek samping famotidine biasanya
ringan dan jarang terjadi misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi dan diare,
seperti halnya dengan ranitidine, famotidin nampaknya lebih baik dari simetidin
karena tidak menimbulkan efek antiandrogenik.
3. ANTIALERGI LAIN
AH1
tidak sepenuhnya efektif untuk pengobatan simtomatik reaksi hipersensitivitas
akut. Hal ini disebabkan oleh fungsi histamine yang sebenarnya merupakan pemacu
untuk dibentuk dan dilepasnya autacoid lain. Baru kemudian histamindan autacoid
lain ini bersama-sama menimbulkan gejala alergi. Untuk menghambat semua efek
ini diperlukan penghambat berbagai autacoid tersebut hal ini pada kenyataannya sulit dicapai,
sebab belum tersedia penghambat untuk semua autacoid. Itulah sebabnya
pengobatan reaksi alergi lebih ditunjukan pada penggunaan antagonis fisiologis
misalnya epinefrin pada anafilaksis dan kortikosteroid pada gejala alergi yang
tidak berespons terhadap AH1. Tetapi terapi ini, seperti halnya
penghambat autacoid, tidak tertuju pada penyebabnya.
Salah
satu terapi hipersensitivitas lain ialah secara
profilaksis yaitu menghambat produksi atau
penglepasan autacoid dari sel mast dan basophil yang telah disensitisasi
oleh antigen spesifik.
Contoh obat:
- Natrium Kromolin
- Nedokromil
- Ketotifen
PERMASALAHAN
11. Mengapa obat antihistamin tidak
diperbolehkan untuk orang yang sedang mengemudi, terutama golongan obat
antagonis reseptor H1? bagaimana pengaruhnya?
22. Bagaimana cara mengetahui saat yang
tepat untuk mengkonsumsi obat antihistamin dan bagaimana cara memilih obat
antihistamin yang tepat untuk digunakan?
33. Melihat banyaknya efek samping yang
terjadi pada obat antihistamin reseptor H1 tersebut, bagaimana cara memodifikasi
struktur antihistamin antagonis reseptor H1 tersebut supaya bisa memeberikan
efek terapi obat yang maksimal tetapi memiliki efek samping obat yang minimal?
DAFTAR PUSTAKA
Departemen
Farmakologi dan Terapeutik. 2016.
Farmakologi dan Terapi, Edisi 6, Departemen Farmakologi dan Terapeutik
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Sari,
F., dan S.W. Yenny. 2018. Antihistamin Terbaru Dibidang Farmakologi. Jurnal Kesehatan Andalas. 7(4): 61-65.
Siswandono,
2016. Kimia Medisinal 2, Edisi 2,
Airlangga University Press, Surabya.
Hai Ririn. Sy mau jawab permasalah pertama.
ReplyDeleteSebenenya obat antihistamin bukan tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi olah orang yg sedang mengemudi tetapi tidak direkomendasikan penggunaannya pada saat sedang mengemudi. Karena dapat kita lihat dari efek samping obat antihistamin itu salah satunya mengantuk jadi jika kita mengkonsumsi obat antihistamin pada saat sedang mengemudi maka akan sangat membahayakan keselamatan diri si pengemudi.
Hai ririn saya akan mencoba menjawab pertanyaan no 2
ReplyDeleteCara mengetahui saat yang tepat untuk mengkonsumsi obat antihistamin yaitu jika tubuh mendeteksi masuknya zat asing sel-sel tubuh akan memproduksi histamin, dan histamin ini menyebabkan pembengkakan pada pembuluh darah. Biasanya mekanisme ini memang berguna. Namun, ketika tubuh anda salah paham terhadap zat yang aman misalnya serbuk sari dan menganggapnya berbahaya, berikutnya akan terjadi hal yang kita sebut dengan alergi musiman. Antihistamin ini biasanya diketahui berfungsi untuk menangani alergi musiman tetapi ada beberapa kegunaan lainnya. Sebelum mengkonsumsi antihistamin sebaiknya mengetahui terlebih dahulu apa penyebab nya dan memahami cara kerjanya dan gejala apa yang dapat diatasi.
Untuk cara memilih obat antihistamin yang tepat untuk digunakan itu disesuaikan dengan penyebab pemicu alergi dan sebaiknya berkonsultasi dulu dengan dokter
Hello ririn :) saya ingin mencoba menjawab permasalahan no 3.
ReplyDeleteDalam memodifikasi molekul metode yg digunakan sangatlah bervariasi yaitu dengan cara :
1. Penyederhanaan molekul (dalam metode ini dilakukan pemecahan, penyisipan, dan pemotongan bagian dari struktur molekul yg besar melalui proses sintetik dan sistematis)
2. Penggabungan molekul (pada metode ini dilakukan adisi(penambahan), replikasi atau hibridisasi molekul senyawa induk melalui proses sintesis
3. Pengubahan dimensi dan kelenturan molekul dengan cara penutupan & pembukaan cincin, pembentukan seri homolog, pemasukan ikatan rangkap, pemasukan pusat kiral
4. Pengubahan sifat fisika kimia molekul
Dengan cara cara modifikasi di atas kemungkin obat antihistamin dapat memberikan efek terapi obat yg lebih maksimal dan meminimalkan efek samping obat. Tetapi hal tersebut terlebih dahulu harus dilakukan penelitian.
Hai Ririn, pertanyaan no 1, obat antihistamin memiliki efek samping salah satunya mengantuk, karena itu tidak dianjurkan di konsumsi sebelum / saat mengemudi
ReplyDelete